Pages

Senin, 19 Desember 2011

Kekisruhan (lagi) dalam tubuh PSSI. Dualisme kompetisi di Liga Indonesia

*Ini artikel yang rencana saya kumpulkan untuk tugas BKMA

Oleh : Taufan Abdillah Andi Wajuanna


Dualisme dalam tubuh PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) kembali terjadi. Setelah musim lalu ada ISL (Indonesian Super League) dan LPI (Liga Primer Indonesia), kini ada IPL (Indonesian Premier League) dan ISL (Indonesian Super League). Jika musim lalu ISL adalah kompetisi resmi dan LPI ada lah kompetisi tandingan, kini berbanding terbalik, sekarang IPL adalah kompetisi resmi dan LSI hanyalah kompetisi yang dijalankan oleh sebagian klub-klub yang membelot karna merasa tidak terima dengan keputusan PSSI.
            Kasus yang dulu dan sekarang terjadi dualisme dalam tubuh persepakbolaan kita sebenarnya sama. Sama-sama tidak setuju dengan keputusan-keputusan PSSI. Jika dulu, Arifin Panigoro menjalankan kompetisi tandingan yaitu LPI (Liga Primer Indonesia) karna merasa PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid tidak becus, kini ISL (Indonesian Super League)  dijalankan karna merasa PSSI di bawah kepemimpinan Djohar Arifin membelot dari hasil keputusan kongres di Bali. Keputusan kongres di Bali adalah, menetapkan klub peserta Liga Indonesia adalah hanya 18 klub dan pengelola liga adalah PT. Liga Indonesia (PT LI). Namun yang terjadi kemudian, PSSI malah membubarkan PT. LI dan menunjuk PT. Liga Prima Indonesia Sportindo (PT LPIS) sebagai pengelola liga. PT LPIS merupakan perusahaan baru bentukan PSSI era Djohar Arifin yang dipimpin oleh Widjayanto yang notabene merupakan orang kepercayaan Arifin Panigoro. Kemudian PSSI juga menetapkan jumlah kontestan adalah 24 klub. Klub tambahan itu adalah Persema Malang, PSM Makassar, Persibo Bojonegoro, Bontang FC, Persebaya Surabaya dan PSMS Medan.
            Sebagaimana yang kita ketahui, Persema Malang, PSM Makassar dan Persibo Bojonegoro adalah tim yang musim lalu mengikuti LPI dan kemudian mereka dikenakan sanksi PSSI waktu itu dengan mendegradasi mereka ke tingkat bawah. Mana mungkin tim yang sudah di degradasi di ikutkan lagi ke kompetisi tingkat teratas? Kemudian Bontang FC, dipaksakan masuk kembali ke kompetisi tertinggi padahal sudah degradasi musim lalu. Kalau pembaca ingat mereka di kalahkan Persidafon Dafonsoro pada babak play off waktu itu. Kemudian  Persebaya Surabaya dan PSMS Medan, dimasukkan ‘Cuma’ karena faktor kota Surabaya dan Medan adalah ikon kota sepakbola, dan tim mereka punya sejarah panjang di Liga Indonesia. Padahal tim mereka saat itu berlaga di Divisi Utama. Pemaksaan kehendak untuk memasukkan ke 6 klub ini mungkin adalah sebagai ‘balas jasa’ karena di awal ke-6 klub ini lah yang getol mendukung Djohar Arifin.
            Nah, keputusan-keputusan ini lah yang tidak diterima oleh mayoritas klub, mereka menolak keras keputusan ini, tapi Ketua Umum PSSI Djohar Arifin tetap pada pendiriannya. Dia menegaskan bahwa kompetisi PSSI itu adalah kompetisi yang diputuskan sah oleh PSSI. Karena PSSI di Indonesia adalah hanya satu dan itu hanyalah PSSI yang dipimpin olehnya. Akhirnya kompetisi Liga Indonesia kembali bergulir, tapi dengan nama Indonesian Premier League. Dan klub-klub yang tidak terima dengan keputusan ini kemudian membentuk liga tandingan dengan operator liga adalah PT LI, karena mereka merasa PT LI masih sebagai pengelola resmi. Akhirnya sekarang, di Indonesia ada dua kompetisi yaitu IPL dengan jumlah 13 klub dan ISL dengan jumlah 18 klub. ISL di ikuti oleh sebagian tim-tim besar Indonesia semacam Persija Jakarta, Arema Indonesia, Persipura Jayapura, Sriwijaya FC dan Persib Bandung.
            Djohar Arifin, orang yang digadang-gadang bisa menyelamatkan sepakbola Indonesia dari era ‘kegelapan’ di rezim Nurdin Halid, kini malah tidak ada bedanya. Bahkan bisa dikatakan lebih buruk. Keputusan-keputusan kontroversialnya selain yang disebutkan tadi, juga antara lain seperti memecat secara sepihak Alfred Riedl dan menggantinya dengan Wim Riesjerbegr,  kemudian melarang pemain-pemain ISL untuk membela Timnas. Padahal seperti yang kita ketahui 80 % pemain Timnas adalah pemain yang beredar di ISL. Nama-nama seperti Titus Bonay, Patrich Wanggai, Okto Maniani, Firman Utina, Bambang Pamungkas, Christian Gonzales, M. Ridwan adalah pemain-pemain yang berkompetisi di ISL. Dualisme akhirnya mengorbankan pemain-pemain terbaik kita. Dualisme kompetisi ini juga yang kemudian menyebabkan Pelatih Timnas U-23 Rahmad Darmawan mundur dari kursi kepelatihan nya. Tampaknya dia kecewa dengan kebijakan PSSI yang melarang pemain ISL membela Timnas, membuat dia tidak bisa memilih pemain-pemain terbaik. Belakangan PSSI juga memutuskan melarang pelatih dari ISL untuk menangani timnas.
            Dualisme juga membuat tim-tim terbagi dua. Satu mengikuti ISL dan satunya mengikuti IPL, seperti Persija dan Arema. Dua tim ini memiliki tim di ISL maupun IPL. Masing-masing manajemen tim tersebut mengklaim mereka lah yang paling benar. Tapi bisa kita liat sendiri masyarakat tampaknya lebih ‘memercayai’ ISL. Jika Persija ISL ataupun Arema ISL berlaga, stadion-stadion tampak full. Bisa kita liat juga di pertandingan ISL tim-tim lain. Persipura Jayapura juga kena dampak dari dualisme kompetisi. Mereka gagal tampil di Liga Champion Asia. Penyebab nya ya karna mereka mengikuti ISL. Tapi belakangan diketahui, Djohar Arifin juga mengirim surat rekomendasi kepada AFC (Asian Football Confederation) untuk mencoret Persipura. Padahal sebenarnya AFC tak ambil pusing apakah Persipura ISL atau IPL. Ini lah yang menyebabkan Pendukung Persipura Jayapura termasuk saya dan juga seluruh orang-orang Papua, sangat-sangat kecewa. 1 minggu yang lalu ratusan orang Papua dan pendukung Persipura Jayapua yang ada di sekitar Jakarta melakukan demo di depan kantor PSSI. Mempertanyakan kenapa sampai Persipura gagal mengikuti Liga Champion Asia. Sudah cukup lah kami di kecewakan Indonesia, masa dalam bidang sepak bola yang merupakan jalan lain pengangkatan harkat dan martabat orang Papua, kami juga di kecewakan ? seperti diketahui Sepak bola dan Persipura sudah seperti di anggap ‘agama kedua’ bagi masyarakat disana.
            Kembali lagi ke masalah dualisme, menurut saya, akar dari semua permasalahan di persepakbolaan Indonesia adalah gaya kepemimpinan dari Djohar Arifin. Seperti pendahulunya yaitu Nurdin Halid, tidak konsisten,keputusan-keputusan yang kontroversial,merugikan mayoritas klub, apa yang harus dilakukan? Menurut saya solusi nya adalah PSSI atau Djohar Arifin harus bisa merangkul kedua kubu ini (ISL dan IPL). Apakah dengan menyatukan kedua nya atau mengakui kedua-dua nya. Bukankah dengan semakin banyaknya kompetisi membuat iklim persepakbolaan kita menjadi semakin kompetitif ? Cari jalan yang terbaik, agar masyarakat sepakbola Indonesia bisa merasakan dampak yang positif untuk kemajuan sepakbola kita. 
           

FIRST POST

Apeleee kawan,,, sa pu blog jadi juga.
WELCOME IN THE WORLD OF ERORR.....

sebenarnya saya membuat blog ini bukan ingin ikut-ikut tren, tapi cuman sekedar ingin menjadikan blog ini sebagai sarana 'penumpahan' pikiran-pikiran saya. saya sadar belum terlalu jago dalam hal tulis menulis, tapi yang penting pikiran-pikiran saya bisa tercurahkan. pikiran-pikiran yang saya maksud disini konteks nya luas, bisa ide,gagasan,fenomena, atapun hal-hal yang nyeleneh.


yoi brooo, selamat membaca . HAHAHA